Slider

Referensi Bacaan

kajian

Buletin

Informasi

Hikmah

Ibrah

Dokumentasi

Puasa; Pembuka Pintu Hidayah

Sumber  iqf.com
Diceritakan dalam manaqibnya, saat al-Syeik ‘Abd al-Qadir al-Jailani tenggelam dalam mujahadah kepada Tuhan, tiba-tiba muncul sinar cemerlang yang memenuhi cakrawala penglihatan. Sinar tersebut berkata: “Wahai Abd al-Qadir, Aku adalah Tuhanmu, setelah beribadah selama puluhan tahun, amalmu sangat banyak sehingga memehuni antara Timur dan Barat, menyesakan antara bumi dan langit, dan memberatkan timbangan mizan di akhirat. Oleh karenanya, mulai sekarang ini, Aku cukupkan ibadah kepadamu. Kamu tidak perlu beribadah lagi kepadaku, karena telah cukup amalmu”.

Mendengar perintah sinar yang mengaku Tuhan seperti itu, Abd al-Qadir berfikir sejenak, benarkah ini wahyu Tuhan khusus kepadaku, benarkah Tuhan memberiku keistimewaan untuk tidak menjalankan perintahNya? Abd al-Qadir sempat ragu, antara meyakini suara Agung nan cemerlang tersebut atau menolaknya. Hatinya yang sedang dilingkupi keterharuan merasa menerima suara tersebut, tetapi akal rasionya tidak menerimanya, mana mungkin Tuhan mencabut perintahNya untuk beribadah, sementara Muhammad Sang Nabi sendiri masih tetap diperintahkan beribadah hingga akhir hayat?

Dalam kebimbangan tersebut, Abd al-Qadir memutuskan untuk memilih akalnya, ia segera ambil terompahnya dan dilemparkan pada sinar agung yang bergulung tersebut; “Pergi, engkau adalah syetan bukan Tuhan, Tuhan tidak mungkin membatalkan firmannya”. Seketika itu juga, sinar putih keperakan tersebut hilang, diiringi dengan suara yang menggema; “ Wahai Abd al-Qadir, engkau selamat dari godaannku, ketauhilah, sudah ribuan salik yang berhasil aku sesatkan dengan cara seperti ini. Engkau selamat karena menggunakan akalmu, sedangkan para salik yang geblinger tersebut karena mereka mengabaikan akalnya.

Puasa sebenarnya merupakan media terbagus manusia berhubungan dengan Tuhan. Puasa menjadi ritual mediator yang menghubungkan keinginan hamba dengan kehendak dan petunjuk Tuhan. Allah dalam hadis qudsiNya mengatakan sendiri: “al-shaumu li wa ana ajzi bihi” (Puasa itu ibadah privat antara hambaKu dengan Aku, dan Aku yang akan membalasnya secara langsung).

Berkaitan dengan ini, seorang hamba yang melakukan puasa jasmani dan rohani, maka dia sebenarnya semakin dekat dengan Sang Pemberi Hidayah (al-Hadi). Oleh karenanya, hidayah, ilham dan petunjuk Allah akan semakin sering menyapanya, membimbingnya dalam jalan yang benar melalui berbagai cara dan dimensi.

Puasa yang benar akan membimbing pelakunya mudah menerima hidayah-hidayah Allah yang tersebar di alam raya ini. Dengan puasa, maka hidayah Allah akan semakin terbuka dan disematkan oleh Allah kepada mukmin yang berpuasa, sebagai ganjaran atas puasanya.

Berkaitan dengan hidayah Allah, Ibn Katsir membagi hidayah menjadi lima, yaitu pertama, hidayah naluri, yaitu petunjuk Allah yang diberikan pada manusia dan binatang, seperti rasa lapar, sakit kalo dipukul, haus dan sebagainya. Hidayah ini menempati hidayah paling bawah.

Kedua, hidayah hawassi, yaitu petunjuk Allah melalui pancaindera, seperti kemampuan melihat, mendengar, membau, dan mengecap. Indera ini diberikan kepada hewan dan manusia. Dengan hidayah hawassi ini manusia mampu melahirkan ilmu-ilmu empirik.

Ketiga, hidayah akal, yaitu petunjuk Allah yang diberikan kepada manusia melalui perantara akal. Akal hanya diberikan kepada manusia, tidak kepada hewan. Keempat, hidayah agama, yaitu petunjuk Tuhan yang diberikan kepada manusia dengan melalui perantara agama. Kelima, hidayah taufiq, yaitu petunjuk Allah yang paling besar, yaitu hidayah yang menggerakan hati hambaNya untuk memeluk Islam.

Kelima macam hidayah Allah ini akan semakin mudah ditangkap oleh hati seorang mukmin yang benar-benar berpuasa di Bulan Ramadhan. Puasa menjadikan hatinya bening dan bersih laksana batu pualam yang mampu menangkap sinar-sinar ketuhanan di alam semesta ini. Puasa adalah medan tempaan jiwa seorang mukmin, sehingga ia berubah dari “tembaga” menjadi “emas” berharga. Maka tidak salah ketika Jalaluddin Rumi, seorang sufi agung dalam kitab Matsnawi-nya mengatakan:
Selalu periksa keadaan batinmu
Menggunakan Sang Raja dari hatimu.
Tembaga tidak pernah mengetahui dirinya tembaga,
Sebelum ia berubah menjadi emas.
Cinta kasihmu tidak akan mengenal Rajanya,
Sebelum ia menyadari ketidakberdayaannya.
Ust. M. Roy Purwanto
Tafakur Ramadlan #5 1436 H.
Pertapaan Kawah Condrodimuko
(Amha/)



Puasa Transformatif

sumber google
Puasa (shaum) merupakan bentuk masdar (gerund) dari kata “shama”, yang memiliki makna menahan diri, berhenti dan tidak bergerak, baik dalam bentuk kegiatan fisik mupun non fisik, serta baik dilakukan manusia maupun mahluk lainnya. Dalam bahasa fiqh, puasa didefinisikan dengan “menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan bersenggama dari mulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari”.

Sementara dalam tradisi sufistik, puasa ternyata bukan hanya dimaknai pada aktifitas lahiriyah, tetapi juga aktifitas bathiniyah, yaitu upaya menahan diri dari menuruti keinginan nafsu yang negatif. Makna puasa kaum sufi inilah yang memberikan transformasi makna pada pelakunya. Hal ini, karena puasa menimbulkan tidak hanya cerdas secara spiritual, tetapi cerdas secara emosional. Ia akan membentuk pribadi pelakunya dan membingkainya dalam perilaku positif, seperti sabar, empatik, sosial, penolong, dan sejenisnya.

Berdasarkan ini, maka Syah Ni’matullah Wali dalam kitabnya Rasalah-yi Syah Ni’matullah-i Wali, dan juga al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin membagi puasa Ramadhan dalam tiga macam: pertama, puasa awam, yakni menahan diri dari makan, minum, berhubungan badan, semenjak awal hari hingga akhir hari dengan niat melakukan puasa. Kedua, puasa khusus, yakni menahan diri dari semua dosa dan kesalahan, baik fikiran maupun badan. Ketiga, puasa khususil khusus, yakni puasa para Wali Allah, yaitu tidak ada yang diingat dan dicintai kecuali Allah semata. Setiap tarikan nafas dan hembusan udara, tiada yang keluar kecuali Allah semata.

Puasa yang berarti pengontrolan emosi dan spiritual inilah sebenarnya hakekat terdalam dari puasa. Sehingga tingkatan puasa kedua dan ketiga yang digambarkan oleh Syah Ni’matullah atau al-Ghazali itulah yang seharusnya menjadi target puasa setiap muslim, yaitu puasa hakiki, puasa transformatif yang dapat merubah perilaku, fikiran, dan hatinya menuju Allah Sang Maha Pencipta.

Syekh Abdul Qadir al-Jilani, seorang sufi agung yang digelari “rajanya para wali” (sulthanul auliya) memberikan tata cara kepada kita semua agar mampu menjalani puasa hakiki, yaitu dengan membutakan mata dan hati dari semua yang ada, kecuali hanya mengingat pada Allah semata. Tidak ada yang patut diharapkan, tidak ada yang dituju, tidak ada yang dicinta di dunia ini, kecuali Allah semata. Jika seberat atom sekalipun selain Allah memasuki kalbu, maka puasa hakiki menjadi rusak.
Berkaitan hanya Allah lah tempat semua bergantung, Yunus Emre, penyair Turki abad ke 13 mengatakan:
Bersama dengan gunung-gunung, dengan batu-batu
Kusebut namaMu, Tuhan, O Tuhan!
Bersama dengan burung-burung di fajar pagi
Kusebut namaMu, Tuhan, O Tuhan!
Bersama dengan ikan-ikan di lautan,
Dengan rusa-rusa di gurun bebas,
Dengan para mistik yang memanggil
Kusebut namaMu, Tuhan, O Tuhan!
Puasa hakiki versi Sang Wali ini memang berat, namun paling tidak, meskipun kita belum mampu ke arah sana, puasa yang kita lakukan harus benar-benar mampu merubah pandangan hidup (worldview) dan perilaku hidup kita setelah berpuasa. Puasa mampu meningkatkan kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial kita dalam melihat realitas sekitar.

Kalau memang puasa yang dilakukan seorang muslim benar-benar mampu mentransformasi hidupnya, maka ia termasuk golongan seperti yang dikatakan oleh Rasululah saw dalam salah satu haditsnya: “Orang yang berpuasa akan memperoleh dua kegembiraan. Kegembiraan pertama adalah ketika berbuka, dan kegembiraan kedua adalah ketika bertemu dengan Tuhannya”. (Amha/)

Ust. M. Roy Purwanto
6 Ramadlan 1436 H
Pertapaan Kawah Condrodimuko

Ramadhan dan Dzikir Akademik

Sumber Google
Muhammad bin Ahmad al-Samarkand, seorang ahli fiqh besar pada zamannya, mempunyai anak perempuan bernama Fatimah. Sejak kecil ia mengaji pada ayahnya sampai menguasi banyak ilmu. Ia dikenal sebagai ulama perempuan. Bila sang ayah dimintai fatwa oleh masyarakatnya, ia meminta putrinya untuk menjawab, sementara dia sendiri ikut mendengarkannya.

Fatimah, di samping cerdas adalah perempuan dengan keelokan rupa yang menawan banyak orang. Bahkan raja-raja di wilayah Turki dan Arab silih berganti datang menemui Muhammad bin Ahmad al-Samarkand untuk meminang putrinya bagi para putra mahkota mereka, akan tetapi tidak satupun yang diterima.

Muhammad bin Ahmad al-Samarkand malah menawarkan putrinya kepada Ala al-Din, salah seorang santrinya yang tawadhu’, cerdas dan rajin ibadah. Ala al-Din sebenarnya merasa tidak pantas menikahi putri guru yang cantik dan pintar itu, sementara ia hanyalah santri miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Namun demikian, permintaan gurunya tidak etis untuk ditolak.

Rupanya sang Guru meskipun meminta kepada Ala al-Din untuk menikahi putrinya, namun mensyaratkan sesuatu, yaitu ia hanya akan menikahkan putrinya, jika Ala al-Din telah selesai menulis syarh (komentar) atas kitab al-Tuhfah al-Fuqaha, karyanya.

Ala al-Din menyanggupi syarat tersebut, dan segera menulis syarah Tuhfah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama ia dapat menyelesaikan tulisan itu yang diberinya judul “Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’”, terdiri dari 7 jilid, masing-masing 450 halaman. Dan kitab inilah yang kemudian menjadi “mahar” si santri miskin itu untuk menyunting putri cantik-cerdas gurunya itu. Para ulama sezamannya mengatakan bahwa Ala al-Din santri yang sangat beruntung, karena mendapat dua permata nan elok, yaitu Fatimah dan Syarh kitab Tuhfah karyanya. Selanjutnya Ala al-Din al-Kasani mendapatkan gelar Malik al-Ulama (raja para ulama).

Cerita akademis nan romantis itulah yang banyak menghiasi lembaran-lembaran sejarah Islam pada masa lalu. Banyak ulama begitu produktif melahirkan banyak karya, bahkan jumlah karyanya lebih banyak dari bilangan umurnya. Al-Ghazali misalnya, Sang Hujjatul Islam ini berusia sekitar 53 tahun, namun mempunyai karya 457 menurut Abdurrahman Badawi dalam bukunya Muallafah al-Ghazali dan 404 buku menurut Michel Allard, seorang orientalis Barat. Sedangkan menurut Fakhruddin al-Zirikli dalam al-A’lam, al-Ghazali mempunyai 200 judul karya.

Ada juga Najmuddin al-Thufi, meninggal dalam usia sekitar 53 tahun dengan karya yang melebihi 100 judul. Muhyiddin al-Nawawi, imam besar madzhab Syafi’i, meninggal usia sekitar 45 tahun dengan meningalkan karya sebanyak usianya. Salah satu karyanya adalah al-Majmu’ Syarah Muhadzab yang menjadi rujukan terbesar madzhab Syafi’i. Imam Nawawi al-Bantani meninggal dalam usia 84 tahun dengan meninggalkan karya lebih dari 130 buku dalam berbagai bidang ilmu.

Ramadlan sebenarnya adalah waktu yang tepat untuk menjadi produktif secara akademik. Ramadlan seharusnya menjadi bulan berdzkir, berdzikir akademik dengan menghasilkan buku, artikel, tulisan dan semacamnya. Ulama-ulama zaman dahulu menggunakan bulan Ramadlan untuk menulis dan mengkaji karya. Dalam konteks Indonesia misalnya, Syeh Hamzah Fanshuri, Abdurrauf Singkil, dan Nuruddin al-Raniri misalnya, menyelesaikan karya-karyanya di bulan Ramadlan.

Kemudian kitab Mir’at al-Thullab karya Abdurrauf al-Fansuri ditulis ulang juga pada bulan Ramadlan pada era Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam. Kitab Syarh al-Baiquni fi Mustalah ‘Ilm al-Hadist dan kitab Bidayat al-Mubtadi bi-Fadhli Allah al-Muhdi juga disalin ulang juga pada bulan Ramadlan.
Di Pesantren-pesantren salaf, bulan Ramadlan juga digunakan untuk mengkaji kitab-kitab klasik sampai khatam. Di Pesantren Tebuireng misalnya, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim habis dibaca dan dikaji dalam satu bulan.

Maka, Ramadlan yang masih panjang ini, harusnya menjadi kawah condrodimuko kita para akademisi, untuk meniru para ulama terdahulu, dalam menelorkan karya-karya yang akan menjadi jariyah dan kenangan buat generasi mendatang.

Tiba-tiba saya menjadi teringat nasehat al-Ghazali, “kalau kalian bukan anak seorang raja besar dan bukan anak orang yang kaya raya, maka jadilah penulis”. Selamat menulis, membuat “mahar-mahar” untuk orang yang dicinta dan generasi di belakang kita. (Amha/)

Ust. M. Roy Purwanto
Tafakkur 7 Ramadlan
Pertapaan Kawahcondrodimuko.


Masuk Surga karena Seekor Lalat

Sumber : Google
Imam al-Ghazali, dalam salah satu kitabnya, Ihya’ Ulum al-Din menceritakan bahwa suatu saat ketika ia mengarang kitab, ada seekor lalat yang terbang mendekat dan hinggap di tinta penanya. Pertama al-Ghazali bermaksud mengusir lalat tersebut karena merasa terganggu. Namun kemudian ia sadar bahwa lalat tersebut sedang kehausan, maka dibiarkanlah lalat itu minum sepuasnya dari tinta al-Ghazali. Setelah lalat tersebut hilang dahaganya, ia lantas terbang entah kemana.

Malam harinya al-Ghazali bermimpi bahwa ia dihisab di padang mahsyar, dan pengadilan akhirat memutuskan untuk memasukan al-Ghazali di surga. Saat itulah muncul suara yang menggema dan berwibawa; “Wahai Ghazali, menurutmu amal apa yang menyebabkan engkau termasuk golongan ahli surga?” al-Ghazali menjawab; “Engkau lebih tahu ya Allah, tetapi kalau aku boleh menebak, maka kitab-kitab karanganku lah yang menyebabkan semua ini”. Suara itu berkata: “bukan wahai Ghazali, karanganmu memang banyak, kitabmu berjilid-jilid, tetapi yang menyebabkan beratnya timbangan pahalamu adalah seekor lalat yang engkau biarkan minum ketika ia kehausan”.

Sekelumit kisah yang akhirnya diabadikan al-Ghazali dalam Ihya’ tersebut memberi kita hikmah bahwa hanya karena membiarkan atau mengasih minum lalat yang kehausan saja menjadikan sebab seseorang masuk surga, apalagi mengasih sodaqah bagi sesama yang benar-benar membutuhkan. Maka, tidak berlebihan ketika Nabi dalam salah satu haditsnya mengatakan: al-Jannatu musytaqat ila arba’ati anfar: talil Qur’an, hafidz al-Lisan, muth’im al-ji’an, wa shaim Ramadlan (Surga selalu merindukan kepada empat golongan manusia; pembaca al-Qur’an, penjaga lisan, pemberi makan orang yang kelaparan, dan orang yang puasa Ramadlan).

Pertama, pembaca al-Qur’an (talil Qur’an). Surga sangat merindukan orang yang rajin membaca al-Qur’an. Al-Qur’an menempati tempat sentral bagi umat Islam dan merupakan kitab yang paling banyak dibaca di dunia, secara berulang-ulang dengan tanpa bosan, bahkan dihafal oleh ribuan orang secara tepat, sampai pada titik komanya. Ini membuktikan betapa agungnya al-Qur’an dan mulianya, sehingga surga sampai merindukan pembacanya.

Syahrul Qur’an merupakan nama lain Ramadlan, karena di dalamnya diturunkan al-Qur’an. Olehkarenanya, memperbanyak membaca al-Qur’an di bulan Ramadlan merupakan amal yang utama. Para Sahabat Nabi ketika memasuki bulan Ramadlan, berlomba-lomba memperbanyak membaca al-Qur’an, ada yang mengkhatamkan seminggu sekali, tiga hari sekali, sehari semalam sekali, bahkan ada yang semalam khatam.

Kedua, Orang yang selalu menjaga lisan. Lidah adalah bagian organ manusia yang lembut dan terlihat lemah, namun memegang peran yang besar bagi hubungan manusia satu dengan lainnya. Di bulan Ramadlan ini, sudah seharusnya seorang yang berpuasa menjaga lisannya, karena lisannya pun harus ikut berpuasa.

Ketiga, Puasa Ramadlan. Romadlan merupakan bulan penuh hikmah, bulan tempat penggodokan, bulan yang merupakan “kawah condrodimuko” bagi sebelas bulan berikutnya. Ketika bulan Ramadlan seseorang mampu mengisi hatinya, menguatkan spirit hidupnya, maka itu akan bermanfaat bagi hari-hari yang akan dijalani berikutnya. Dan bagi orang yang gagal mengambil hikmah di bulan Ramadlan, maka ia pun akan rugi di hari-hari berikutnya, karena bekal yang didapat tidak cukup.

Keempat, orang yang memberi makan orang yang kelaparan. Sodaqah merupakan perbuatan yang mulia. Seperti yang diceritakan oleh al-Ghazali tadi, dengan “bersedekah” pada hewan saja, mampu memperberat amal kebaikan di surga, apalagi bersedekah kepada manusia. Di samping itu pula, ternyata dengan bersedekah secara ihlas akan mendatangkan rizki yang berlipat-lipat bagi pelakunya.

Keempat amalan ini tepat sekali dilakukan pada bulan Ramadlan, sehingga Ramadlan yang dijalani menjadi bulan berkah pembawa selaksa hikmah dan ketakwaan.

Berkaitan dengan ini, Syekh Zainuddin dari Malabar India mendendangkan syair:
Batu-batu ketakwaan di dasar hatimu
Adalah biji-biji nirmala
Yang melahirkan pohon-pohon keagungan
Dengan teduh dan buah yang tidak akan pernah berakhir

Ust. M. Roy Purwanto
Tafakkur #4 Ramadlan 1436.
Pertapaan Kawah Condrodimuko.(Amha/)

Ramadhan; Medan dan Perang Mencari Rahmat Allah

Sumber Google
Dalam kitab Durratun Nasihin, Utsman ibn Hasan Al-Khubawi (w. 1824) menukil sebuah hadis dari Rasulullah yang yang menceritakan bahwa ada seorang laki-laki digiring malaikat ke neraka karena dosa-dosanya yang banyak. Sampai pada 1/3 perjalanan ia menengok ke belakang dan berjalan lagi. Kemudian ia sampai 1/2 perjalanan dan menengok kembali ke belakang. Kemudian ia jalan terus sampai 2/3 perjalanan dan menengok kembali ke belakang. Pada akhirnya Allah memerintahkan kepada malaikat untuk mengembalikan orang itu ke tempatnya semula.

Kemudian orang itu ditanya oleh Allah "Haii.. fulan kenapa kamu menengok ke belakang sampai 3 kali?" Orang itu menjawab : "Yaa Allah di 1/3 perjalanan aku ingat Firman-Mu "Wa rabbuka al-ghafuru dzu al-rahmah” (Tuhan-mu adalah Maha Pengampun yang memiliki kasih sayang) karena itu aku menengok ke belakang untuk mohon ampunan-MU. Aku jalan terus sampai 1/2 perjalanan, aku ingat Firman-Mu "waman yaghfiru al-dzunuba illa Allah " (Siapakah yang mengampuni dosa kecuali Allah?), karena itu aku menengok ke belakang untuk memohon ampunan-Mu.

Lalu aku berjalan terus hingga pada 2/3 perjalanan aku ingat Firman-Mu lagi " Qul li’ibadia alladzina asrafu ‘ala anfusihim la taqnathu min rahmatillah" (Katakanlah kepada Hamba2ku yang banyak berbuat dzolim, janganlah berputus asa dari rahmat Allah), karena itu aku menengok ke belakang untuk mengharapkan pengampunan-Mu. Selanjutnya, Allah berkata: " Aku ampuni kamu pergilah kamu ke surga dengan Rahmat-KU".

Dari kisah di atas, jelaslah bahwa seseorang bisa masuk surga pada dasarnya bukan karena amal ibadahnya yang banyak, tetapi hanya karena rahmat Allah semata. Bahkan Rasul sendiri mengatakan bahwa masuk surganya beliau nanti, bukan karena amalannya, tetapi hanya karena rahmat Allah. Oleh karena itu, yang perlu kita cari sebenarnya, adalah rahmat Allah dan Ridlo Allah.
Lantas muncul pertanyaan, bagaimana dengan amal yang dilakukan setiap hari, seperti shalat, zakat, sedekah, dan puasa,? Apakah amal-amal tersebut lantas tidak memberikan makna apa-apa?

Sungguh, tidak ada amal ibadah yang sia-sia. Sekecil apapun amal, akan dipertimbangkan oleh Allah dan mendapatkan balasan. Hanya saja, amal ibadah manusia, tidak seimbang jika dibandingkan dengan nikmat Allah yang telah diberikan kepada manusia. Olehkarena itu, amal ibadah hanyalah berfungsi sebagai alat dan proses untuk menjemput rahmat Allah SWT. Itulah fungsi ibadah, ia sebagai salah satu alat ukur seorang hamba mendapatkan rahmat Allah.

Diceritakan dalam sebuah hadis ada seorang hamba Allah yang beribadah selama 500 tahun di atas sebuah bukit yang berada di tengah-tengah lautan. Di situ Allah SWT mengeluarkan sumber air tawar yang sangat segar dan menumbuhkan satu pohon delima. Setiap harinya, hamba Allah tersebut mandi, berwudhu pada mata air tersebut dan makan buah delima. Setelah hamba tersebut meninggal, maka dihisab oleh Allah di hari kiamat. Allah SWT menyuruh malaikat: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut tidak mau dan berkata: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku saja, bukan karena rahmatMu”.

Maka Allah SWT menyuruh malaikat agar menghitung seluruh amal ibadahnya selama 500 tahun dengan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Setelah dihitung-hitung ternyata kenikmatan Allah SWT tidak sebanding dengan amal ibadah hamba tersebut selama 500 tahun. Maka Allah SWT berfirman: “Masukkan ia ke dalam neraka”. Maka ketika malaikat akan menariknya untuk dijebloskan ke dalam neraka, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena rahmat-Mu”.

Ramadlan, adalah bulan tempat Allah “mengobral” rahmat. Rahmat Allah ada dalam puasa, rahmat Allah ada dalam tarawih, rahmat Allah bersemayam dalam sedekah, dan rahmat allah juga bersemayam dalam membaca al-Qur’an. Olehkarena itu, bagi para pemburu rahmat Allah, carilah rahmatNya yang berserak di setiap nafas ramadlan ini. Bukankah Rasulullah telah bersabda:” Inilah bulan yang permulaannya (10 hari pertama) penuh dengan rahmat, yang pertengahannya (10 hari pertengahan) penuh dengan ampunan, dan yang terakhirnya (10 hari terakhir) Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka”.(Amha/)


Ust. M. Roy Purwanto
Tafakkur #3 Ramadlan 1436.
Pertapaan Kawah Condrodimuko.

Puasa dan Pemberantasan Korupsi

google
Diriwayatkan dari Imam Ghazali, suatu saat terjadi percakapan antara Iblis dan syetan tentang nasib manusia. “ Setelah Muhammad menjadi Rasul, pasukan setan datang kepada Iblis dan berkata, “Seorang Rasul telah datang dan satu bangsa telah muncul. Apa yang harus kita lakukan sekarang?“. Iblis berkata, “apakah mereka cinta dunia?“,

Mereka menjawab:“ya“. Iblis berkata: “aku tidak mengkhawatirkan mereka sedikitpun, meski mereka tidak menyembah berhala, asal mereka tetap mencintai dunia. Aku akan datang kepada mereka pada pagi dan sore hari dengan tiga nasehat; (1), carilah harta dengan dhalim. (2) habiskan uang di tempat yang tidak semestinya. (3), kikirlah di tempat-tempat sedekah. Semua dosa berasal dari ketiga hal ini“.

Itulah “nasehat“ Iblis yang perlu diwaspadai oleh manusia. Ketika manusia bisa menghindari kecintaan yang berlebihan pada dunia, maka ia akan selamat, tetapi ketika masih “kumanthil-manthil“ dengan dunia sampai menghalalkan segala cara, maka bersiaplah untuk menjadi pengikut sang Iblis.

Puasa ramadlan berfungsi memenangkan nafsu lawwamah dalam pertempuran abadi antara kebaikan dan keburukan. Dalam diri manusia ada dua nafsu yang selalu mempengaruhi hati sebagai raja penggerak dari Tubuh manusia. Pertama, nafsu lawwamah, yaitu nafsu yang membimbing manusia agar tidak tersesat. Nasfu ini merupakan manifestasi Tuhan dalam diri manusia. Ia meniupkan kebaikan dan membisikan kebenaran pada hati manusia. Menurut sebagian ulama, nafsu ini dalam diri manusia berbentuk akal budi. Kedua, nafsu ammarah, yaitu nafsu yang mengajak manusia untuk berbuat kejahatan, menumpahkan darah di muka bumi, menyebar fitnah, korupsi, dan kebohongan.

Dengan seorang muslim berpuasa, melakukan shalat tarawih, melantunkan kalam Ilahi, dan mendendangkan doa-doa, maka nafsu ammarah akan semakin lemah, dan kekuatan lawwamah semakin kuat, sehingga seorang hamba menjadi semakin terbimbing meniti jalan kebenaran dan keridhaan Tuhan.

Dalam kontek kehidupan berbangsa yang sedang menggalakan pembrantasan korupsi, maka puasa harus dijadikan titik tolak pembrantasan korupsi dari pribadi masing-masing. Nabi berkata: “ibda’ binafsik (mulailah kebaikan dari dirimu sendiri) Puasa bukan hanya dimaknai menahan makan dan minum, tetapi menahan melakukan korupsi.

Korupsi yang merajalela di negeri ini dikarenakan seperti pesan Iblis tadi, bahwa manusia terlalu mencintai dunia (harta benda), sehingga menghalalkan segala cara. Maka tidak salah kalau Syekh Ibn Athaillah dalam kitab al-Hikam mengutip Rasulullah mengatakan: “hubb al-dunya ra’su kulli khathiatin“ (mencintai dunia berlebihan merupakan pangkal kesalahan dan dosa).

Harta benda di dunia bukan berarti dihindari dan ditinggalkan, tetapi kecintaan yang berlebihan sehingga menghalalkan segala cara, seperti korupsi dan kolusi itu yang harus dibuang jauh dari umat Islam. Umat Islam harus bisa mengendalikan kecintaannya kepada harta benda dengan tidak berlebihan. Silahkan mencari harta, mencari rizki, tetapi dengan jalan yang halal lagi benar.

Maka, puasa merupakan cara terbaik seorang muslim mengendalikan hawa nafsu. Rasulullah SAW berpesan: “Setan berlari dalam diri anak Adam melalui darah, maka halangilah tempat berlarinya syetan dengan lapar dan dahaga“. Nabi Isa juga menasehati murid-muridnya: “Biarkan perutmu lapar, haus dan tubuhmu telanjang, semoga kalbumu dapat melihat Allah“. (Amha/)

Ust. M. Roy Purwanto
Tafakkur #2 Ramadlan 1436.
Pertapaan Kawah Condrodimuko.