Slider

Referensi Bacaan

kajian

Buletin

Informasi

Hikmah

Ibrah

Dokumentasi

» » » Puasa Transformatif

sumber google
Puasa (shaum) merupakan bentuk masdar (gerund) dari kata “shama”, yang memiliki makna menahan diri, berhenti dan tidak bergerak, baik dalam bentuk kegiatan fisik mupun non fisik, serta baik dilakukan manusia maupun mahluk lainnya. Dalam bahasa fiqh, puasa didefinisikan dengan “menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan bersenggama dari mulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari”.

Sementara dalam tradisi sufistik, puasa ternyata bukan hanya dimaknai pada aktifitas lahiriyah, tetapi juga aktifitas bathiniyah, yaitu upaya menahan diri dari menuruti keinginan nafsu yang negatif. Makna puasa kaum sufi inilah yang memberikan transformasi makna pada pelakunya. Hal ini, karena puasa menimbulkan tidak hanya cerdas secara spiritual, tetapi cerdas secara emosional. Ia akan membentuk pribadi pelakunya dan membingkainya dalam perilaku positif, seperti sabar, empatik, sosial, penolong, dan sejenisnya.

Berdasarkan ini, maka Syah Ni’matullah Wali dalam kitabnya Rasalah-yi Syah Ni’matullah-i Wali, dan juga al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin membagi puasa Ramadhan dalam tiga macam: pertama, puasa awam, yakni menahan diri dari makan, minum, berhubungan badan, semenjak awal hari hingga akhir hari dengan niat melakukan puasa. Kedua, puasa khusus, yakni menahan diri dari semua dosa dan kesalahan, baik fikiran maupun badan. Ketiga, puasa khususil khusus, yakni puasa para Wali Allah, yaitu tidak ada yang diingat dan dicintai kecuali Allah semata. Setiap tarikan nafas dan hembusan udara, tiada yang keluar kecuali Allah semata.

Puasa yang berarti pengontrolan emosi dan spiritual inilah sebenarnya hakekat terdalam dari puasa. Sehingga tingkatan puasa kedua dan ketiga yang digambarkan oleh Syah Ni’matullah atau al-Ghazali itulah yang seharusnya menjadi target puasa setiap muslim, yaitu puasa hakiki, puasa transformatif yang dapat merubah perilaku, fikiran, dan hatinya menuju Allah Sang Maha Pencipta.

Syekh Abdul Qadir al-Jilani, seorang sufi agung yang digelari “rajanya para wali” (sulthanul auliya) memberikan tata cara kepada kita semua agar mampu menjalani puasa hakiki, yaitu dengan membutakan mata dan hati dari semua yang ada, kecuali hanya mengingat pada Allah semata. Tidak ada yang patut diharapkan, tidak ada yang dituju, tidak ada yang dicinta di dunia ini, kecuali Allah semata. Jika seberat atom sekalipun selain Allah memasuki kalbu, maka puasa hakiki menjadi rusak.
Berkaitan hanya Allah lah tempat semua bergantung, Yunus Emre, penyair Turki abad ke 13 mengatakan:
Bersama dengan gunung-gunung, dengan batu-batu
Kusebut namaMu, Tuhan, O Tuhan!
Bersama dengan burung-burung di fajar pagi
Kusebut namaMu, Tuhan, O Tuhan!
Bersama dengan ikan-ikan di lautan,
Dengan rusa-rusa di gurun bebas,
Dengan para mistik yang memanggil
Kusebut namaMu, Tuhan, O Tuhan!
Puasa hakiki versi Sang Wali ini memang berat, namun paling tidak, meskipun kita belum mampu ke arah sana, puasa yang kita lakukan harus benar-benar mampu merubah pandangan hidup (worldview) dan perilaku hidup kita setelah berpuasa. Puasa mampu meningkatkan kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial kita dalam melihat realitas sekitar.

Kalau memang puasa yang dilakukan seorang muslim benar-benar mampu mentransformasi hidupnya, maka ia termasuk golongan seperti yang dikatakan oleh Rasululah saw dalam salah satu haditsnya: “Orang yang berpuasa akan memperoleh dua kegembiraan. Kegembiraan pertama adalah ketika berbuka, dan kegembiraan kedua adalah ketika bertemu dengan Tuhannya”. (Amha/)

Ust. M. Roy Purwanto
6 Ramadlan 1436 H
Pertapaan Kawah Condrodimuko

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar: