Slider

Referensi Bacaan

kajian

Buletin

Informasi

Hikmah

Ibrah

Dokumentasi

» » » Ramadhan dan Dzikir Akademik

Sumber Google
Muhammad bin Ahmad al-Samarkand, seorang ahli fiqh besar pada zamannya, mempunyai anak perempuan bernama Fatimah. Sejak kecil ia mengaji pada ayahnya sampai menguasi banyak ilmu. Ia dikenal sebagai ulama perempuan. Bila sang ayah dimintai fatwa oleh masyarakatnya, ia meminta putrinya untuk menjawab, sementara dia sendiri ikut mendengarkannya.

Fatimah, di samping cerdas adalah perempuan dengan keelokan rupa yang menawan banyak orang. Bahkan raja-raja di wilayah Turki dan Arab silih berganti datang menemui Muhammad bin Ahmad al-Samarkand untuk meminang putrinya bagi para putra mahkota mereka, akan tetapi tidak satupun yang diterima.

Muhammad bin Ahmad al-Samarkand malah menawarkan putrinya kepada Ala al-Din, salah seorang santrinya yang tawadhu’, cerdas dan rajin ibadah. Ala al-Din sebenarnya merasa tidak pantas menikahi putri guru yang cantik dan pintar itu, sementara ia hanyalah santri miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Namun demikian, permintaan gurunya tidak etis untuk ditolak.

Rupanya sang Guru meskipun meminta kepada Ala al-Din untuk menikahi putrinya, namun mensyaratkan sesuatu, yaitu ia hanya akan menikahkan putrinya, jika Ala al-Din telah selesai menulis syarh (komentar) atas kitab al-Tuhfah al-Fuqaha, karyanya.

Ala al-Din menyanggupi syarat tersebut, dan segera menulis syarah Tuhfah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama ia dapat menyelesaikan tulisan itu yang diberinya judul “Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’”, terdiri dari 7 jilid, masing-masing 450 halaman. Dan kitab inilah yang kemudian menjadi “mahar” si santri miskin itu untuk menyunting putri cantik-cerdas gurunya itu. Para ulama sezamannya mengatakan bahwa Ala al-Din santri yang sangat beruntung, karena mendapat dua permata nan elok, yaitu Fatimah dan Syarh kitab Tuhfah karyanya. Selanjutnya Ala al-Din al-Kasani mendapatkan gelar Malik al-Ulama (raja para ulama).

Cerita akademis nan romantis itulah yang banyak menghiasi lembaran-lembaran sejarah Islam pada masa lalu. Banyak ulama begitu produktif melahirkan banyak karya, bahkan jumlah karyanya lebih banyak dari bilangan umurnya. Al-Ghazali misalnya, Sang Hujjatul Islam ini berusia sekitar 53 tahun, namun mempunyai karya 457 menurut Abdurrahman Badawi dalam bukunya Muallafah al-Ghazali dan 404 buku menurut Michel Allard, seorang orientalis Barat. Sedangkan menurut Fakhruddin al-Zirikli dalam al-A’lam, al-Ghazali mempunyai 200 judul karya.

Ada juga Najmuddin al-Thufi, meninggal dalam usia sekitar 53 tahun dengan karya yang melebihi 100 judul. Muhyiddin al-Nawawi, imam besar madzhab Syafi’i, meninggal usia sekitar 45 tahun dengan meningalkan karya sebanyak usianya. Salah satu karyanya adalah al-Majmu’ Syarah Muhadzab yang menjadi rujukan terbesar madzhab Syafi’i. Imam Nawawi al-Bantani meninggal dalam usia 84 tahun dengan meninggalkan karya lebih dari 130 buku dalam berbagai bidang ilmu.

Ramadlan sebenarnya adalah waktu yang tepat untuk menjadi produktif secara akademik. Ramadlan seharusnya menjadi bulan berdzkir, berdzikir akademik dengan menghasilkan buku, artikel, tulisan dan semacamnya. Ulama-ulama zaman dahulu menggunakan bulan Ramadlan untuk menulis dan mengkaji karya. Dalam konteks Indonesia misalnya, Syeh Hamzah Fanshuri, Abdurrauf Singkil, dan Nuruddin al-Raniri misalnya, menyelesaikan karya-karyanya di bulan Ramadlan.

Kemudian kitab Mir’at al-Thullab karya Abdurrauf al-Fansuri ditulis ulang juga pada bulan Ramadlan pada era Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam. Kitab Syarh al-Baiquni fi Mustalah ‘Ilm al-Hadist dan kitab Bidayat al-Mubtadi bi-Fadhli Allah al-Muhdi juga disalin ulang juga pada bulan Ramadlan.
Di Pesantren-pesantren salaf, bulan Ramadlan juga digunakan untuk mengkaji kitab-kitab klasik sampai khatam. Di Pesantren Tebuireng misalnya, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim habis dibaca dan dikaji dalam satu bulan.

Maka, Ramadlan yang masih panjang ini, harusnya menjadi kawah condrodimuko kita para akademisi, untuk meniru para ulama terdahulu, dalam menelorkan karya-karya yang akan menjadi jariyah dan kenangan buat generasi mendatang.

Tiba-tiba saya menjadi teringat nasehat al-Ghazali, “kalau kalian bukan anak seorang raja besar dan bukan anak orang yang kaya raya, maka jadilah penulis”. Selamat menulis, membuat “mahar-mahar” untuk orang yang dicinta dan generasi di belakang kita. (Amha/)

Ust. M. Roy Purwanto
Tafakkur 7 Ramadlan
Pertapaan Kawahcondrodimuko.


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar: