“…Hanya orang-orang yang bersabar-lah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS al-Zumar [39]: 10)
Setidaknya ada empat (4) hal yang dapat digunakan untuk mengukur ‘stabilitas emosi’ seseorang. Sebelum melangkah lebih jauh, hal yang harus dipahami adalah bahwa emosi tidak melulu soal amarah atau kemarahan. Emosi sebenarnya adalah terminologi yang sangat general (universal). Emosi—juga—berarti kesedihan, kegembiraan, kegalauan, keriangan, dan seterusnya. Namun tidak dimungkiri pula bahwa dalam realitas sosial kita, emosi lebih dekat dengan makna ‘(a)marah’ atau ‘murka’.
Seorang yang sedikit-sedikit marah biasanya dijuluki dengan pribadi yang ‘emosian’. Orang yang emosian biasanya malah menjadi bahan guyonan, dan bahkan ejekan. Orang yang biasa marah, hanya karena masalah (yang) sepele, sudah kebakaran jenggot. Tentu ini adalah makna kiasan. Tidak semua yang kebakaran jenggot punya jenggot beneran. Simpelnya dapat dipahami bahwa berbicara masalah ‘emosi’ maknanya adalah perihal kemarahan, dan yang senada dengannya.
Lalu, apakah empat (4) hal yang penulis maksudkan di awal? Pertama, stabilitas emosi dapat dilihat dari sudut pandang geografis. Maksudnya, dari mana kita berasal. Contoh sederhananya, antara orang kota dan orang desa. Kalau boleh jujur, kira-kira antara ‘orang kota’ dengan ‘orang desa’ mana yang lebih stabil emosinya? Meskipun belum berdasarkan penelitian yang valid, nampaknya emosi orang desa yang lebih stabil. Emosi orang kota dengan segenap setting kulturalnya biasanya (lebih) tidak stabil.
Kedua, dilihat dari jenis kelamin (gender). Sekali lagi ini adalah renungan bersama, yang tidak memerlukan kernyitan dahi. Jawabannya biarlah mengalir, seperti air sungai yang ‘berjalan’ dari hulu ke hilir. Penulis tekankan lagi ini hanyalah ‘kira-kira’. Kira-kira, antara laki-laki dan perempuan, mana yang lebih stabil emosinya? Jawaban pertanyaan ini memang beragam. Tetapi kalau dipersentase, nampaknya laki-laki yang emosinya lebih stabil. Emosi wanita cenderung fluktuatif.
Mari kita buktikan. Ada satu keluarga. Sudah lima tahun berumah tangga tetapi tidak juga dikaruniai ‘buah hati’. Alhamdulillāh, di tahun ke-6 pernikahannya, Allah menganugerahkan seorang anak laki-laki yang normal sekaligus tampan. Saat berusia sekitar 5 tahun, sang anak sudah biasa bermain-main dengan teman sebayanya. Tanpa pengawasan langsung yang intensif dari kedua orang tuanya. Tanpa dinyana-nyana, suatu siang datang kabar bahwa anak tadi mengalami kecelakaan.
Dalam kasus di atas, siapa yang pertama kali menitikkan air mata: sang ayah atau ibu? Dengan mudah, kita dapat menjawab: pastilah ibunya. Kemudian, mereka berdua memastikan kebenaran kabar tidak baik itu dengan datang ke lokasi. Ternyata benar musibah itu menimpa anaknya, anak satu-satunya. Siapakah yang kemudian menangis (bahkan langsung pingsan) kala itu? Sang ayah atau ibu? Jawaban yang paling logis dan realistis adalah sang ibu. (Ini hanyalah analogi semata)
Setelah itu, sang anak yang terluka tersebut dibawa-lah ke rumah sakit. Selama sebulan dia dirawat dengan intensif. Berkat usaha dokter dan tentu karena pertolongan Allah, sang anak sembuh. Ia dapat tersenyum-bahagia kembali, mampu beraktivitas seperti sebelumnya. Saat itu, siapa yang pertama kali tersenyum? Jawabannya adalah: sang ibu. Lalu, ayahnya kemana dan ngapain? Ayah “menangis” karena harus melunasi tagihan rumah sakit yang lumayan mahal. (Kalimat terakhir ini sekadar guyonan)
Kisah tadi menjadi penegas bahwa antara laki-laki dan perempuan, yang lebih stabil emosinya adalah laki-laki. Laki-laki mengedepankan akal, sementara perempuan mendahulukan perasaan. Dan hal itu tidaklah menunjukkan bahwa perempuan tidak lebih mulia dari laki-laki. Itulah fitrah dan dalam banyak kasus tidak berlaku mutlak. Boleh jadi dalam formasi pasangan suami-istri, yang lebih tahan emosi adalah sang istri. Tetapi dalam tulisan ini, kita berbicara yang (in) general, yang umum, aghlabiyyah.
Ketiga, stabilitas emosi dapat ditilik dari kualitas (ke)ilmu(an). Dalam bahasa yang lebih keren, ‘gizi intelektualitas’ menentukan stabilitas emosi. Pertanyaan yang menegaskan hal itu adalah sebagai berikut. Kira-kira (sekali lagi, kira-kira), antara orang yang pintar dengan yang bodoh (tidak, atau kurang pintar) mana yang lebih stabil emosinya? Sepertinya, orang yang pintar yang lebih stabil. Sebab dia tahu bahwa marah itu ada tempatnya, dan semakin banyak marah semakin menunjukkan kalau dia “bodoh”.
Oleh karena itu, kalau pendidikan seseorang sudah tinggi tetapi tetap saja emosian berarti masih diragukan kepintarannya. Benarkah dia sudah pandai secara hakiki atau sekadar pandai-pandaian. Dalam masalah agama, orang yang lebih tahu khilafiyyah (dalam masalah cabang, furu’iyyah) dia semakin mampu menghargai perbedaan yang ada. Dia paham bahwa orang lain memiliki dalil yang kuat sehingga amaliyyah ibadahnya berbeda. Dia tidak mudah menghakimi, tidak buru-buru menganggap orang lain salah.
Dalam konteks lain, orang yang masih sering marah, tidak kuat mengendalikan emosi, semestinya lebih banyak belajar. Ilmu, pengetahuan, pengalaman, wawasan, dan hal positif lainnya insya Allah akan menghantarkannya pada stabilitas emosi. Logika terbaliknya, supaya kita cepat menjadi orang yang pintar maka mari mengendalikan emosi. Ini memang sukar tetapi akan segera terwujud kalau kita terus belajar. Singkatnya, (karena) derajat kepintaran sebanding dengan stabilitas emosi.
Keempat, masalah isi perut yang menjadi ukuran. Poin terakhir inilah yang sangat relevan untuk dibahas (sedikit) lebih dalam di bulan yang sangat mulia (Ramadhan). Sebelumnya, mari kita bertanya. Kira-kira nich, antara orang yang lapar dengan orang yang kenyang, mana yang lebih stabil emosinya? Nampaknya, orang yang kenyang yang lebih stabil. Sebab, dia sudah selesai dengan urusan perutnya dan dapat menatap hidup secara lebih utuh. Sementara untuk orang yang lapar, urusannya menjadi lain.
Bagi orang yang lapar, jangankan berpikir untuk bekerja dan berkarya, urusan perut saja belum kelar. Bagaimana mau berbuat yang baik dan benar kalau perut dalam keadaan lapar. Begitulah kira-kira kondisi orang yang lapar. Para pembaca yang budiman, disinilah menariknya puasa yang akan atau sedang kita jalankan. Kita justru diminta untuk lebih mengendalikan emosi di saat perut dalam keadaan tidak terisi. Kita harus bersabar dalam kondisi haus dan lapar. Menarik sekali bukan?
Sangat wajar kalau Allah sangat mengistimewakan ibadah puasa. Puasa adalah milik Allah, tidak semata-mata milik hamba-Nya. Dan karena puasa itu milik Allah maka Dia-lah yang akan memberikan pahala langsung. Orang yang ‘kuat’ berpuasa adalah orang yang luar biasa. Merekalah yang mampu menahan dirinya dalam kondisi yang lemah dan tidak berdaya. Merekalah yang berupaya berbuat baik secara terus-menerus meskipun keadaan perutnya sedang tidak ‘terurus’.
Ketika seseorang sudah pandai men-stabilkan emosinya dalam kondisi perut tidak terisi maka pastinya dia lebih bersabar di saat perutnya kenyang. ‘Pesantren Ramadhan’, kalau begitu, akan menghasilkan pribadi yang penyabar dan tahan uji. Pribadi yang karena masalah sepele atau besar sekalipun tetap mampu menahan emosi. Kalau puasa diorientasikan ke sana maka hikmah Ramadhan akan semakin terasa. Salah satu ciri orang yang bertakwa adalah pandai menahan emosi atau amarahnya.
Puasa: ‘Menahan’
Kalau kita kembali kepada makna dasar puasa maka akan ketemu titik simpulnya. Puasa, sudah sangat jelas dan lugas, secara bahasa artinya menahan. Menahan saat berpuasa dalam kacamata fikih berarti: menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami istri. Tetapi kalau boleh dikaitkan dengan ‘mudik lebaran’, yang demikian itu hanyalah ‘kelas ekonomi’. Muslim yang baik tentu ingin mendapatkan tiket yang lebih baik: bisnis atau (bahkan) eksekutif.
Lalu bagaimana untuk melampaui ‘kelas ekonomi’? Caranya dengan berpuasa yang bukan hanya ragawi tetapi juga maknawi. Tidak makan, tidak minum, dan tidak bersetubuh itu adalah yang kasat mata. Dengan bahasa lain, itu adalah simbol. Makna filosofisnya tentu lebih dalam. Bahwa yang harus ditahan (di-imsāki) sangatlah universal. Termasuk bagaimana menahan diri kita agar tidak mudah marah, dan sebaliknya berusaha untuk senantiasa bersikap ramah.
Menahan (al-imsāku) dalam artian yang luas adalah menahan diri kita dari hal-hal yang tidak baik. Semakin kuat ‘ketahanan’ kita maka semakin sukses puasa yang kita jalankan. Hal ini mungkin diperoleh dengan penghayatan yang mendalam terhadap substansi dari shaum Ramadhan itu sendiri. Dalam bahasan ini, titik tekannya lebih kepada pencapaian stabilitas emosi, sebagai buah manis Ramadhan. Stabilitas emosi (kesabaran) akan menjadikan manusia lebih mulia dan terjaga.
Demikianlah hikmah Jumat minggu ini. Izinkan penulis mengucapkan terima kasih kepada Ust. Sudarmaji, S.Pd atas inspirasinya. Apa yang tertulis di buletin ini adalah ceramah (jelang) terawih beliau, dengan beberapa improvisasi. Paling terakhir, kita berdoa semoga puasa Ramadhan tahun ini benar-benar mendidik kita untuk lebih tahan uji, lebih mampu menahan (men-stabilkan) emosi, alias semakin pantas disebut sebagai pribadi yang sabar atau ‘penyabar’. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam FIAI UII
Editor : Hamzah/
Sumber : http://alrasikh.uii.ac.id/
Tidak ada komentar: