sumber foto dari facebook |
Ada yang menganggapnya sebagai hadits ‘remeh’,bahkan cenderung alergi jika ada seorang muslim yang menggunakanya sebagai pijakan bertindak. Pun, ada juga yang kurang selektif terhadap hadits ini sehingga menggunakanya menerimanya secara mentah-mentah. Bagaimana sikap yang arif terhadap hal ini ?.
Secara singkat, ada tiga pendapat para ulama mengenai penggunaan hadits dlaif; : Tidak boleh sama sekali, boleh dalam keadaan tertentu, boleh tetapi masih diperinci.
Tidak boleh sama sekali dipakai baik dalam pengambilan hukum halal dan haram atau fadlail al-a`mal. Pendapat ini dimiliki oleh Ibn al-Araby al-Maliky ulama mengkategorikanya pendapat yang lemah. Namun, ada yang berkata bahwa maksud Ibn al-Araby ini adalah hadits yang sangat dla`if dan parah.
Boleh dalam keadaaan tertentu, yaitu tidak ada dalil lagi mengenai masalah yang sedang dibahas kecuali hadits dla`if tersebut dan seluruh ulama menerima hadits tersebut walaupun dlaif.
Imam as-Syafi`i menontohkan hadits ‘ tidak ada wasiat bagi ahli warits’ (la washyyata li ahl warits). Hadits ini lemah namun diterima oleh seluruh ulama, bahkan ada yang berpendapat bisa menasakh ayat wasiat. Namun, hadits dlaif seperti ini sangat jarang ditemukan.
Boleh dengan perincian, tidak boleh dalam dua hal yaitu; untuk landasan penetapan aqidah seperti tentang sifat-sifat Allah dan landasan penetapan halal dan haram. Dan boleh digunakan untuk landasan dalam keutamaan-keutamaan amal (fadlail al-a`mal), penyemangat ibadah (targhib wa tarhib), sejarah dan kisah hikmah (manaqib).
Boleh juga meriwayatkanya, tidak mempersulit dalam rangkaian sanadnya dan juga tanpa menerangkan kelemahanya.
Namun, Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika menggunakan hadits ini :
Pertama, digunakan untuk keutamaan-keutamaan amal seperti di atas. Kedua, dlaifnya tidak terlalu parah, seperti hadits yang hanya diriwayatkan oleh para pembohong atau tertuduh berbohong dan hafalnya sangat buruk. Ketiga, isinya masih berada dalam wadah hal-hal yang diperkenankan. Keempat, niat berhati-hati dalam melaksanakan.
Pendapat ini dikeluarkan oleh para ulama ahli hadits, diantaranya adalah al-Hafidz Imam Nawawi dalam kitab at-Taqrib, al-Hafidz al-`Iraqy dalam Syarh alfiah, al-Hafidz Ibn Hajar al-`Atsqalany dalam syarh an-nuqbah, al-Hafidz Zakariya al-anshary dalam syarh alfiah al-Iraqy, al-Hafidz as-suyuthy dalam tadrib ar-rawy, Ibn Hajar al-Makky dalam syarh arbai`n, dan lain sebagainya. Oleh sebab situ, pendapat ini dikatakan mu`tamad (dijadikan pijakan para pakar).
Secara umum, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan hadits dlai`f. :
Pertama, hendaknya mengatakan ‘hadits ini dla`if dalam sanad ini’, jangan sampai berkata ‘materi (matan) hadits ini dlai`f’ hanya karena satu sanad hadits tersebut. Karena sering ada sanad hasan atau shahih yang lain yang belum diketahui. Kecuali ada keterangan para Imam bahwa tidak ada hadits shahih sama sekali yang menguatkanya.
Kedua, tidak mengatakan ‘Rasul bersabda’, tetapi berkata ‘diriwayatkan dari Rasul’, ‘sampai keterangan pada kami’. Ini biasa disebut ‘Shigat tamridl’.
Oleh sebab itu, Selain shahih Bukhari dan Muslim kita melihat karya-karya para ulama juga memuat hadits-hadits dlaif. Baik karya-karya khusus displin hadits disiplin lain. Dalam hal ini Imam Ahmad Bin Hambal dan yang lain mengatakan ‘kita sangat ketat menyeleksi hadits halal dan haram, tetapi mempermudah dalam keutamaan-keutamaan’ (idza rawaina fi al-halal wa al-haram syaddadna, wa idza rawaia fi al-fdlail tasahalna)(al-Khatib al-Baghdady, al-kifayah, 134).
Maka, Hadits dlaif mendapatkan tempat tersendiri dalam Islam, bukan untuk dibuang dan dianggap remeh.
Sumber : www.qolam.net
Tidak ada komentar: